![]() | |
Logo GMNI | |
GMNI sudah menjadi saksi sejarah perjalannya bangsa ini, dari dalam GMNI lahirlah para tokoh-tokoh hebat bangsa ini. Mulai dari para anggota dewa sampai para kepala daerah. Berbagi gagasan dan kontribusi telah GMNI lakukan dalam kemajuan bangsa. Saat ini GMNI sudah mencapai umurnya yang ke 68. Bagi organisasi mahasiswa ini bukan lagi umur yang muda, istilahnya GMNI kini sudah mencapai umur senjanya, sudah semakin mantap dan tidak boleh terkoyahkan, Apa pun dinamika yang terjadi dalam kehidupan berbangsa bernegara GMNI sudah benar-benar siap, menjalaninya dan tetap mempertahankan eksistensi organisasi serta idiologinya.
Namun naas, melihat kondisi organisasi besar tersebut saat ini seperti menonton sinetron yang menceritakan kisah rumah tangga yang tercerai berai ibarat GMNI adalah satu keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan anak-anak yang tinggal di dalam satu rumah maka saat ini keluarga tersebut tidak lagi harmonis. Ibu telah pergi bersama anak-anaknya yang lain serta Ayah telah mencari kebahagiaan bersama yang lain dengan anak-anaknya. Rumah tangga yang dulunya harmonis dibangun selama bertahun-tahun kini berantakan lantaran Ibu ingin menjadi kepala rumah tangga serta Ayah tidak terima karena bagi Ayah tugas kepala rumah tangga adalah Ayah bukan Ibu.
Anak-anak dalam keluarga tersebut kini hilang arah tidak tahu mau ke mana, sekedar berdiskusi dengan saudaranya takut dimarahi Ayah dan Ibu mereka. Kadang Ibu akan cemburu ketika Ayah dekat dengan anak yang satu sebaliknya juga dengan Ayahnya. Akhirnya, anak-anak tidak bisa ke mana-mana rasa rindu mereka kepada saudara mereka tidak bisa terbayarkan karena takut dikira pengkhiyanat oleh Ibu atau Ayah mereka. Sungguh miris keadaan yang sedang menimpah GMNI hari-hari ini akibat dari dualisme kepemimpinan yang terjadi dari tingkat pusat sampai ke tingkat komisariat
Jika kembali melihat sejarah berdirinya GMNI, maka disimpulkan organisasi ini benar-benar merupakan organisasi yang dari terbentuknya saja sudah menunjukan semangat nasionalisme yang berapi-api dari mereka. Bagaimana tidak, GMNI adalah satu tubuh 3 jiwa yang bersatu.
Tiga organisasi yang sudah berdiri sebelumnya mau bersama-sama bersatu membawa satu konsep yang dikenal dengan nasionalisme untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat kecil. Mereka telah meninggalkan segala egoisme mereka. Para pendiri organisasi ini bersatu. Kemudian, mencetuskan GMNI dengan semangat persatuan yang begitu tinggi. Akan tetapi, kini diobrak-abrik oleh egoisme para kader saat ini. Akhirnya, GMNI yang katanya nasionalisme tulen, anak ideologi Bung Karno kini jadi dua.
Masing-masing ketum dengan egosime mereka masing masing akibatnya dari tingkat pusat hingga akar-akarnya kehilangan arah dan tujuan. GMNI seperti sudah kehilangan taringnya akan lebih banyak berdebat antara kubu A dan B soal perpecahan organisasi, saling senggol antar kubu A dan Kubu B tidak ada rasa nasionalisme lagi para kadernya.
Janganlah kita terlalu gembor-gemborkan semangat nasionalisme lalu banyak bacot bilang bahwa GMNI itu nasionalisme tapi kemudian para kadernya saja terpecah belah. GMNI katanya bisa mempersatukan keberagaman suku, ras, agama, hingga budaya bersatu dalam bingkai GMNI. Terus mengapa mempersatukan dua kubu yang berbeda saja kita tak mampu? Ini salah siapa? Sudah tentu bukan salah organisasinya, tapi salah para kader-kader yang terlalu egois demi kedudukan dan kepentingan individunya terpaksa menodai semangat perjuangan yang suci.
Ayolah! Kita adalah agen pemersatu bangsa ini.
GMNI adalah garda terdepan menyebarkan nilai-nilai nasionalisme Bung Karno, menyebarkan semangat Bhineka Tunggal Ika, menanamkan nilai-nilai pancasila dan memperjuangkan hak-hak masyarakat tertindas. Para kader jangan karena kepentingan tertentu menghancurkan citra GMNI. Bagi saya, para senior GMNI haruslah juga menjadi perekat tubuh GMNI. Jangan sampai para senior malah jadi pemicu yang kemudian membuat organisasi ini hilang arah.
Sudah saatnya kita bersatu kembali, yang dua harus kembali bersatu. Hilangkan egoisme masing-masing kubuh. Jangan bawa-bawa kepentingan individu di sini, tidak boleh ada dua matahari, tidak boleh ada dua kepala cukup satu! Agar tidak terbakar dan tetap berjalan sesuai tujuan kita. Jangan kita bermimpi ingin mempersatukan keberagaman bangsa ini kalau untuk mempersatukan dua kubu yang berbeda saja kita tidak mampu.
Kini, sudah 68 tahun GMNI berdiri.
Akankah GMNI bertahan hingga 100 tahun? Ataukah beribu-ribu tahun lagi? Bahkan akan abadi? Bagi saya tidak akan sampai sejauh itu kalau kita masih seperti sekarang ini.
Sekarang tergantung kita masing-masing, mau bersatu dan menjadi organisasi yang makin besar atau jadi organisasi abal-abal. Akibat perpecahan yang terjadi di dalam tubuh GMNI kita akan sangat mudah diadu domba oleh orang lain. Apa kemudian kalian bilang biar dualisme namun tetap harus menyebarkan ajaran marhanisme dan menyebarkan nasionalisme?
Omong kosong! Orang tidak akan pernah percaya jika dalam rumah tangga saja tidak bisa dipersatukan maka untuk apa orang-orang kemudian ingin mendengar suara-suara kalian tentang persatuan dan kesatuan?
Ingat! GMNI bukan organisasi abal-abal.
GMNI adalah organisasi besar. Para kadernya adalah para pemikir dan pejuang yang luar biasa. Jangan cederai perjuangan suci ini akibat keretakan yang terjadi dalam tubuh GMNI. Jika kita ingin agar nilai-nilai juang kita bisa dimengerti banyak orang, maka jadilah contoh dan cermin dari dalam tubuh organisasi kita.
Semua kemudian terpulang dari kita masing-masing.
Selamat dies natalis ke-68 rumah merahku, rumah kita semua. Mari sadar diri, refleksi diri, pikirkan mau dibawa ke mana organisasi ini. Saatnya kita bersatu dan jangan terpecah belah lagi.
Posting Komentar untuk "Refleksi 68 Tahun Berdirinya GMNI, yang Dua Harus Kembali Menjadi Satu"