"Kesempatan adalah kesuksesan" begitulah kira-kira kalimat
yang pantas untuk menggambarkan kebahagiaanku. 16 November 2020 dimana kebahagiaanku meledak bersamaan
dengan dekatnya sebuah kapal yang ditumpangiku menuju suatu peradabaan yang sudah asing bagiku. Hanya tersisa beberapa
potongan kecil kenangan masa lalu yang terlintas dibenakku dikala mengingat peradaban itu. Semilir angin yang
sejuk seakan meneriakiku untuk cepat-cepat
turun dari kapal itu dan menginjakkan kakiku diperadaban yang sudah asing itu. Sembari menunggu berlabuhnya kapal, hatiku
mulai merasakan bisikan-bisikan kerinduan yang
sudah tak sabar menanti datangnya saat dimana semua kerinduan
terbayarkan di peradaban itu. Kalian pasti
penasaran dengan peradaban yang kumaksudkan simak sampai akhir yuk.
"Perhatian
untuk semua penumpang, kira-kira kapal akan berlabuh 20 menit lagi" kata
nahkoda kapal.
Mendengar pengumuman itu pikiranku ditarik
kembali ke-masa dimana aku, saudara
perempuanku, dan ibuku meninggalkan peradaban yang sedang dituju.
Kenangan itu kembali mengingatkanku.
Tahun 2006 aku yang usianya baru 5 tahun dan saudara perempuanku yang berumur 7 tahun mau tidak mau harus
meninggalkan peradaban tempat kami dilahirkan untuk ikut bersama ibu kami. Ayah kami yang sudah meninggalkan kami
sejak aku berumur 1 tahun membuatku bahkan tidak mengingat seperti apa wajah ayahku itu. Teganya anak berumur 5 dan
7 tahun dibiarkan diurusi sendirian oleh seorang ibu. Aku bersyukur ibuku tidak
pernah memiliki niat untuk meninggalkan kami, ia baluti kami dengan kasih sayang setiap waktu.
Aku
ingat tanganku dan kakakku dipegang erat oleh ibuku menuju kapal yang akan
ditumpangi kami untuk bertolak dari
tempat kelahiran kami. Aku salut dengan keberanian ibuku untuk meninggalkan tempat kelahiran kami demi
mencari hidup yang lebih layak untuk kami. Jika saja kami tetap tinggal di tempat kelahiran kami mungkin kami akan merasakan
betapa susahnya mencari berkat untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, atau bisa saja aku tak akan pernah menceritakan kisah ini.
Satu tahun berlalu tiba saatnya aku masuk sekolah
dasar. Aku adalah anak yang cukup bersyukur sebab didikan dari ibuku
benar-benar tertanam dalam diriku. Jarak dari kontrakan dan sekolah yang cukup jauh ditambah dengan kami yang harus
berjalan kaki menuju sekolah membuat
perjuangan kami semakin menantang. Namun kami sadar perjuangan dari ibu kami bahkan tak ada bandingannya dengan
perjuangan kami. kami berproses disekolah itu hanya 1 tahun sebab hidup
menuntut kami harus meninggalkan tempat tinggal kami itu dan berpindah ke tempat tinggal
baru yang bernama waipia sebuah kecamatan di kabupaten maluku tengah.
Kebetulan
nenek yang adalah ibu dari ibuku tinggal disitu jadi kami langsung mendapatkan tempat untuk tinggal. Kakakku dan aku
melanjutkan sekolah disitu. Sebuah kebahagiaan mulai muncul dalam rumah tangga kami dimana ibuku menemukan jodohnya,
ayah tiri kami kini hadir untuk
meringankan beban yang ditanggung ibu kami. Aku bersyukur sebab ayah tiriku
bahkan tak memandang ibuku yang sudah memiliki
2 anak namun memandang ibu kami sebagai
perempuan yang dapat menyempurnakan dirinya. Dia bertanggung jawab atas
kehidupan kami, aku dan kakakku
bahagia sebab bisa terus melanjutkan impian kami dengan terus bersekolah. Namun kebahagiaan itu direnggut dari
kakakku saat akhir-akhir dari sekolah menengah atasnya, ia harus diperhadapkan dengan ujian berat yaitu dia hamil
sebelum dia lulus sekolah. Kakakku yang
adalah harapan pertama ayah dan ibuku kini telah menemui kegagalan dan
penyesalan yang akan selalu diingat
selama hidupnya. Memang semua adalah salahnya jadi kami hanya menerima kenyataan tanpa mengeluhkan hal
ini. Aku yang kala itu menginjak bangku kelas 10 rasanya tidak kuat lagi melanjutkan sekolah namun, mengingat
kembali perjuangan ayah dan ibuku
sampai aku sudah berada di bangku kelas 10 ini rasanya masalah yang dihadapi
saat itu tak berarti apa-apa dan tak sedikitpun mengoyahkan tekadku untuk terus
sekolah.
Melihat
surat yang bertuliskan lulus setelah 3 tahun membuat kami sekeluarga merasa
sangat bahagia. Aku akhirnya bisa
melewati proses perjuangan dibangku sekolah. Tapi itu sebenarnya bukalah
akhir melainkan awal dari perjuangan kehidupan yang sesungguhnya. Aku mendaftarkan diri disebuah universitas dikota ambon yaitu universitas Pattimura. Bersyukur aku mendapatkan beasiswa Bidikmisi sehingga
dapat mengurangi beban orangtuaku. Aku sekarang
adalah mahasiswa fakultas teknik prodi perencanaan wilayah kota. Aku bangga
karena bisa menjadi seorang
mahasiswa walaupun berasal dari keluarga seadanya aku bisa berdiri bersama-sama dengan anak-anak yang bisa
dikatakan hidup bahagia dengan cinta kasih yang utuh dari keluarga.
Awalnya
aku mengira kuliah ini akan sangat menakutkan namun itu hanyalah perkiraan
bukan kenyataan. Memang kuliah itu
sulit tapi jika dijalankan dengan taat dan tekad yang sungguh pasti semuanya akan berjalan seusai apa yang direncanakan. Baru berkuliah 2 semester, kehidupan diperhadapkan dengan serangan
sebuah virus ganas. Pandemi covid-19 nama yang
membawa sejuta kesedihan.
Berawal dari kota Wuhan, China, virus yang kemudian
dikenal dengan nama covid-19 ini menyebar
tidak hanya ke seantero negeri, tetapi seluruh penjuru dunia. Tidak ada satu
pun negara yang terbebas dari
ganasnya virus corona ini. Tak bisa dipungkiri bahwa pemerintah di berbagai
negara seolah kewalahan
saat ‘berperang’ melawan
virus corona. Keterbatasan jumlah tenaga kesehatan baik dokter maupun perawat dan minimnya
APD (Alat Pelindung Diri) mengakibatkan layanan
kesehatan tidak maksimal.
Bahkan, tak sedikit tenaga kesehatan
yang
turut menjadi korban ‘keganasan’ virus corona. virus corona mengguncang peradaban manusia
di dunia sungguh suatu tragedi bencana non alam.
Virus
corona yang mewabah di berbagai penjuru dunia dan langkah-langkah preventif
yang dilakukan pemerintah tentu menimbulkan perubahan yang signifikan terhadap kehidupan masyarakat dunia. Lantas, bagaimana dampak
dari pandemi corona ini yang tentu membekas dalam
kehidupan masyarakat, atau bahkan menimbulkan kondisi yang tak lagi sama dengan sebelumnya. Saat ini dunia
terperangkap dalam syndemic
(seperangkat masalah kesehatan
terkait yang melibatkan dua atau lebih penderitaan, berinteraksi secara sinergis, dan berkontribusi pada kelebihan beban penyakit dalam suatu populasi).
Kampusku
libur seluruh universitas dan sekolah-sekolah diluar sana melakukan aktifitas
belajar mengajar secara daring. Aku
dituntut untuk pulang dari tanah rantau karena dikeadaan seperti ini seharusnya berada dekat dengan keluarga. Sebuah cermin yang menggambarkan suatu wajah yang penuh harapan,
membawa sebuh pemikiran
dibenakku dikala pandemi
ini. Kenangan masa laluku
mengingatkanku akan suatu peradaban yang jauh. Kenangan itu datang setelah
melihat dunia yang sedang bertempur melawan pandemi
covid-19 ini.
"Ohh ternyata
aku merindukan suatu rumah tempat pertama kali aku mengeluarkan tangisanku".
Ini adalah sebuah kesempatan besar buatku untuk
melepaskan semua rasa rindu yang sudah tak terbendung lagi. Pandemi membawa
sebuah kesempatan yang sudah kunantikan sejak lama yaitu pulang ke pelukan hangat
tempat kelahiran. Takkan
kusia-siakan kesempatan emas ini.
Tanpa
pikir panjang aku mulai mengurusi semua hal yang diperlukan untuk bisa kesana.
Bolak balik rumah sakit dan kantor
desa untuk pemeriksaan kesehatan dan mengurus surat ijin keluar masuk daerah.
"Arghh ribetnya dunia sekarang ini" kata yang diucapkan didalam hatiku.
Aku bersyukur dengan adanya pandemi ini akhirnya aku berkesempatan
pulang itupun jika kesempatan ini tak
dimanfaatkan mungkin takkan ada lagi hal yang sama untuk tahun-tahun mendatang. Selesai mengurusi hal-hal yang
diperlukan, tiba saatnya menunggu waktu untuk
sampai ke tempat
kelahiranku.
Tibalah
hari dimana kapal kami berlabuh diperairan yang pernah ku tinggalkan banyak
perahu yang jauh mata memandang
sudah terlihat berdatangan dari pulau misterius
yang hampir dilupakan itu. Kami turun disebuah perahu
milik saudara kami. Keadaan saat itu sudah malam jadi aku sulit melihat siapa yang datang menjemput kami. Cahaya
senter seseorang melintasi sebuah wajah
yang sepertinya sudah sejak lama menantikan kedatangan kami. Kupandangi
baik-baik
namun wajah ini tak kunjung kukenal. Kupikir aku akan mengenal beberapa wajah namun tak satupun yang kukenal padahal wajah-wajah itu selalu tersenyum
saat melihatku.
"Sudahlah pasti juga akan kukrnali wajah-wajah itu" ucapku dalam hati.
Angin malam yang sejuk, pecahnya ombak dibelah oleh perahu kami mengantarkan kami memijakkan kaki kami ke peradaban yang telah dinanti-nantikan itu. Kami disambut hangat dan penuh kekeluargaan oleh saudara dan kerabat tercinta. Kedatangan kami ini, banyak sanak saudara yang begitu antusias menyambut kami. Bahkan kulihat ada beberapa mata yang meneteskan air mata dikala melihatku yang sudah seperti sekarang ini. Aku yang keluar kampung dengan tubuh kecil wajah polos tak tahu apa-apa sekarang kembali dengan tubuh tinggi gagah dengan sejuta pengetahuan kehidupan. Diriku benar-benar sudah berubah.Tak dapat diutarakan betapa senangnya diriku akhirnya bisa datang mengunjungi rumah lamaku. Dikampungku ini ternyata banyak sekali orang yang peduli dan sayang kepadaku, disini aku dipenuhi dengan cinta. Tak kusangka pandemi yang digadang-gadang sebagai pembawa sejuta kesedihan ternyata juga membawa kebahagiaan tersendiri buatku. Rindu yang tertampung bahkan hampir menenggelamkanku ternyata terbayar dengan hadirnya pandemi. Aku kembali mengunjungi kecamatan damer desa batumerah.
Sejenak
aku berpikir "jangan kita selalu melihat sebuah permasalahan sebagai
permasalahan tapi marilah kita berani
menjadikan permasalahan itu sebuah kesempatan yang mendatangkan kebahagiaan".
"Kehadiran
pandemi membayar rinduku" begitulah judul yang tepat untuk kisahku ini.
Itulah pandemi dimataku.
Sudah tahu kan peradaban yang kumaksud?
Posting Komentar untuk "Cerpen-Kehadiran Pandemi Membayar Rinduku"